Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Das Statum Das Stratum: Dialektika Negara, Kekuasaan, dan Materialisme.

Minggu, 13 April 2025 17:48 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kairos
Iklan

Das Statum Das Stratum sebagai kerangka teoretis untuk memahami hubungan dialektis antara negara sebagai konstruksi ideologis dan realitas

 

Ini Bukan Revolusiku (Kumpulan Esai Anarko-Feminisme) - Emma Goldman

 

Intoduction.

Dan, apa yang saya tulis kali ini, adalah, suatu kritik yang niscaya, dan tulisan ini mengkaji konsep Das Statum Das Stratum sebagai kerangka teoretis untuk memahami hubungan dialektis antara negara sebagai konstruksi ideologis dan realitas material kekuasaan. Melalui analisis kritis terhadap konsep negara sebagai utopia idealistis, makalah ini mengeksplorasi bagaimana kekuasaan bekerja dalam era post-truth, di mana dominasi beralih dari kontrol atas alat produksi fisik menuju penguasaan atas narasi dan logika absolut. Penelitian ini berpendapat bahwa negara modern merepresentasikan tegangan fundamental antara gagasan abstrak dan realitas material, yang terus bertransformasi seiring dengan perkembangan kapitalisme pengetahuan. 

------------------------------------

Istilah Das Statum Das Stratum menggabungkan dua konsep penting: "statum" yang dalam bahasa Latin berkembang menjadi "state" (negara), dan "stratum" yang mengacu pada lapisan atau tingkatan hierarkis dalam struktur sosial. Konsep ini membentuk kerangka untuk menganalisis bagaimana negara, sebagai konstruksi ideologis dan abstraks, berinteraksi dengan lapisan-lapisan kekuasaan material dalam masyarakat. 

Negara sebagai konsep politik telah lama menjadi subjek perdebatan filosofis. Dari Plato hingga pemikir kontemporer, pertanyaan mengenai legitimasi, fungsi, dan hakikat negara terus menjadi fokus kajian. Makalah ini mengambil perspektif kritis yang memahami negara bukan sebagai entitas netral, melainkan sebagai manifestasi dari relasi kekuasaan yang kompleks dan sering kontradiktif. 

Negara sebagai Konstruksi Utopis 

Negara dapat dipahami sebagai "konsep utopis dari idealisme kondisi mimpi di siang hari" (Bloch, 1986). Ini mencerminkan aspirasi kolektif manusia untuk menciptakan struktur sosial yang melampaui kontradiksi realitas. Namun, paradoksnya, negara juga mewujudkan monopoli atas dominasi kekuasaan yang sering melampaui akal sehat. 

Goldman (1910) menyoroti kontradiksi ini dengan menyatakan bahwa negara adalah institusi yang secara inheren menindas dan secara fundamental bertentangan dengan kebebasan individu. Baginya, negara mewakili "paksaan terorganisir, kekerasan sistematis, dan dominasi intervensionis" yang menghalangi aktualisasi diri manusia. 

Berbeda dengan pemahaman kontrak sosial Rousseau (1762) yang melihat negara sebagai produk kesepakatan bersama, perspektif kritis ini memahami negara sebagai hasil dari dinamika kekuasaan historis yang tidak setara. Marx dan Engels (1848) kemudian mengembangkan pandangan ini dengan menyatakan bahwa negara modern "tidak lebih dari komite untuk mengelola urusan-urusan umum seluruh kelas borjuis." 

Materialisme Historis dan Dialektika Negara 

Dalam kerangka materialisme historis, negara dipahami sebagai "konsep sosial dalam pengertian komunal, kelompok-kelompok yang secara sistemik dibentuk oleh keadaan zamannya" (Marx, 1867). Perspektif ini menekankan bagaimana struktur material menentukan bentuk-bentuk sosial dan ideologis, termasuk negara. 

Namun, hubungan antara basis material dan suprastruktur ideologis tidak selalu linear. Gramsci (1971) memperkenalkan konsep "hegemoni" untuk menjelaskan bagaimana kekuasaan dipertahankan tidak hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui konsensus budaya dan intelektual. Negara, dalam pemahaman ini, berfungsi tidak hanya sebagai alat kekerasan, tetapi juga sebagai produsen dan pengatur "kebenaran" dan "pengetahuan." 

Foucault (1975) memperluas pemahaman ini dengan konsep "power/knowledge," di mana kekuasaan bekerja melalui definisi apa yang dianggap sebagai pengetahuan dan kebenaran. Dalam kapitalisme kontemporer, penguasaan atas narasi, data, dan informasi menjadi bentuk utama akumulasi kapital. 

Kapitalisme Pengetahuan dan Transformasi Kekuasaan 

Pada era post-truth, kita menyaksikan transformasi signifikan dalam cara kekuasaan beroperasi. Jika dalam kapitalisme industrial klasik, kekuasaan berpusat pada penguasaan alat produksi fisik, dalam kapitalisme pengetahuan, kekuasaan beralih pada "dominasi produktivitas perorangan" dan penguasaan atas logika dan narasi. 

Byung-Chul Han (2017) menyebut fenomena ini sebagai "psikopolitik," di mana kekuasaan tidak lagi bekerja pada tubuh fisik, melainkan pada jiwa dan pikiran. Subjek modern dikendalikan bukan melalui disiplin fisik, melainkan melalui motivasi, optimasi, dan inisiatif—sebuah bentuk eksploitasi yang lebih halus namun lebih efisien. 

Dalam konteks ini, "logika yang absolut" menjadi alat penindasan yang lebih halus namun lebih kuat, di mana individu yang secara eksistensial "bebas" (Sartre, 1943) tetap terperangkap dalam struktur pemikiran yang telah ditetapkan. Kebebasan ontologis berhadapan dengan batasan epistemologis yang diciptakan oleh sistem kapitalisme pengetahuan. 

Kontradiksi dan Batas Kebenaran Absolut 

Meskipun konstruksi ideologis negara dan kapitalisme pengetahuan mungkin tampak hegemonik, harus diakui bahwa "tidak ada suatu gagasan yang melampaui realitas waktu di masa depan, yang dapat saja berubah haluan dengan revolusioner, dari apa yang dibayangkan sebagai kebenaran dalam suatu gagasan absolut" (Jameson, 2005). 

Bahkan ide-ide besar seperti konsep "Tuhan" atau "kebenaran universal" terus menjadi subjek kontestasi dan penolakan. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun struktur kekuasaan dapat mengklaim legitimasi melalui narasi absolut, selalu ada ruang untuk resistensi dan transformasi. 

Metafora "sebotol air minum yang dikemas" versus "air sebagai sumber kehidupan" menggambarkan dengan jelas bagaimana komodifikasi dapat mengubah makna dan nilai dari sesuatu yang esensial dan mendasar. Ini mencerminkan kritik Marx terhadap fetishisme komoditas, di mana relasi sosial ditransformasikan menjadi relasi antara benda-benda. 

-------------------------------------------------------

Analisis "Das Statum Das Stratum" menunjukkan bahwa hubungan antara negara sebagai konstruksi ideologis dan realitas material kekuasaan bersifat dialektis dan terus berkembang. Meskipun negara dan struktur kekuasaan modern berusaha mengklaim legitimasi melalui narasi absolut, selalu ada kontradiksi dan ketegangan yang membuka kemungkinan untuk transformasi. 

Dalam menghadapi kapitalisme pengetahuan dan dominasi narasi, pertanyaan mendasar tetap ada: bisakah kita mengatasi dikotomi antara gagasan dan realitas material? Jawaban untuk pertanyaan filosofis mendalam ini mungkin, dengan rendah hati, adalah "kita tidak tahu"—sebuah pengakuan atas batas pemahaman manusia yang mungkin justru merupakan awal dari kebijaksanaan sejati. 

---------------------------------------------

. 

Referensi 

Bloch, E. (1986). The Principle of Hope. MIT Press. 

Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage Books. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Goldman, E. (1910). Anarchism and Other Essays. Mother Earth Publishing Association. 

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers. 

Han, B. C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power. Verso Books. 

Jameson, F. (2005). Archaeologies of the Future: The Desire Called Utopia and Other Science Fictions. Verso Books. 

Marx, K. (1867). Capital, Volume I. Progress Publishers. 

Marx, K., & Engels, F. (1848). The Communist Manifesto. Progress Publishers. 

Rousseau, J. J. (1762). The Social Contract. E. P. Dutton. 

Sartre, J. P. (1943). Being and Nothingness. Philosophical Library. 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler